“Dari
pada
sisa uang dibagik-bagi atau
dikembalikan ke pusat, itu lebih bermanfaat dipakai untuk beli kursi dan meja
belajar siswa. Ini pula sebagai bentuk pengembangan dari sisa dana tersebut,”
kata Kepala SMAN 1 Monta H Sulistyo Widodo S.Pd menanggapi isu miring terhadap
penggunaan anggaran rehab sekolah.
Bima—Gerah dengan
pemberitaan miring yang termuat di salah satu media lokal di kabupaten Bima dalam beberapa pekan
lalu, memaksa Kepala SMAN 1 Monta H Sulistyo
Widodo S.Pd
angkat bicara.
Sebelumnya,
Kepala SMAN 1 Monta dituding melakukan mark-up
anggaran rehab lima lokal RKB dari dana senilai Rp310
juta. Selain itu, dirinya juga diisukan melakukan pungutan liar (Pungli) dengan dalih untuk keperluan les.
Menurut Sulistyo, tudingan miring tersebut tidaklah
benar. Karena memang dirinya melaksanakan pengerjaan rehab lima lokal ruang belajar tersebut sesuai prosedur, serta mengacu pada RAB dan bestek.
“Bahkan kegiatan rehab ini jauh sebelumnya telah dibentuk
panitia
pelaksana pembangunan,” tepisnya.
Pada
waktu pelaksanaan proyek, lanjut dia, semua panitia
yang dibentuk masing-masing melaksanakan tugas sesuai tupoksi.
Bahkan dari sebagian panitia, ada yang mencari tukang, pekerja buruh, kebutuhan kayu termasuk masalah ongkos. “Jadi
tidak benar jika saya melaksanakan proyek sendiri,” kata Sulistyo.
Sulistyo juga
menguraikan, mengenai
pengadaan 50 meja dan kursi, sesungguhnya itu tidak ada dalam bestek, melainkan
inisiatif dirinya sebagai bentuk pengembangan dari sisa anggara
dimaksud.
Hal ini dilakukan dari pada sisa uang
dikembalikan ke pusat atau dibagi-bagi pada panitia, lebih
baik digunakan
untuk membeli meja dan kursi, karena memang kebutuhan tersebut sangatlah
bermanfaat untuk mendukung kegiatan belajar siswa. “Lantas,
apa yang saya mark-up kan dari sisa anggaran tersebut,” katanya.
Terkait isu pungli, Sulistyo meluruskan bahwa uang Rp200
ribu yang ditarik
dari per siswa, itu berdasarkan
hasil rapat sekolah, komite bersama wali murid. Dengan rinciannya Rp175 ribu untuk mendukung kegiatan les seperti pengadaan
soal dan honor guru les—sedangkan
sisa Rp35
ribu digunakan untuk uang foto siswa.
“Ini kami lakukan karena memang uang komite yang ditarik per bulan hanya Rp25 ribu (300 ribu per
tahun).
“Perlu diketahui, uang komite tersebut sangat minim termasuk pemasukannya tak lancar,” kata Sulistyo.
Sulistyo juga
menyayangkan sikap oknum wartawan yang memberitakan persoalan ini tanpa
melakukan konfirmasi balik terkait hal itu. “Sebaiknya pemberitaan itu, baru
profesional haruslah berimbang sehingga tak melanggar kodek etik wartawan serta
menjunjung tinggi UU Tentang Pers,” katanya.(erik rifana)